Counsellor at law for Mommy and Kids
Bersama INTA AMILIA, S.H M.H
Berdasarkan laporan “Global Report 2017: Ending Violence in Childhood” sebanyak 73,7 persen anak-anak Indonesia berumur 1-14 tahun mengalami pendisiplinan dengan kekerasan (violent discipline) atau agresi psikologis dan hukuman fisik di rumah.
Hal ini diperkuat data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mencatat
sebanyak 4.294 kasus kekerasan pada anak dilakukan oleh keluarga dan pengasuh (2011-2016). Kasus terbanyak terjadi pada 2013, yaitu 931 kasus kekerasan anak. Namun, jumlah ini terus menurun menjadi 921 kasus di 2014, 822 kasus di 2015, dan 571 kasus di 2016.
Mengikuti pola kesamaan gender, kekerasan fisik dan emosional pada anak perempuan pun cenderung dilakukan oleh ibu.
Hal ini perlu mendapat perhatian. Penelitian “Gender-Specific Linkages of Parents’ Childhood Physical Abuse and Neglect with Children’s Problem Behaviour: Evidence from Japan” yang dilakukan oleh Oshio and Umeda (2016) menunjukkan bahwa perilaku orangtua berpengaruh lebih besar terhadap perkembangan anak-anak bergender sama. Artinya, perilaku bermasalah seorang anak perempuan terkait erat dengan kekerasan yang dilakukan ibunya ketimbang kekerasan oleh ayah. Begitu pula perilaku anak laki-laki yang terkait erat dengan pengalaman mereka bersama ayahnya.
Dampak fisik maupun psikis kekerasan terhadap anak, apa pun tujuannya, sama sekali tidak bisa dianggap sepele. Kita bisa melihatnya dari penelitian UNICEF yang mengumpulkan dan menyusun berbagai dampak perlakuan kejam terhadap anak dari 178 studi. Penyusunan itu kemudian digolongkan ke dalam empat area, yaitu kesehatan fisik, kesehatan mental, kesehatan kekerasan, dan dampak terhadap pendidikan dan ketenagakerjaan.
Kekerasan fisik maupun psikis yang di dapat di masa kanak-kanak; melalui pengalaman hukuman fisik dari pengasuh, menyaksikan kekerasan dalam keluarga, intimidasi dan bullying di sekolah atau di lingkungan lain, juga tanpa disadari pola asuh yang kerap Mencemaskan, membanding-bandingkan, juga menakut-nakuti dapat berdampak pada kepribadian individu di masa mendatang.
Untuk menghindari dampak negatif tersebut, pola asuh dengan kekerasan fisik maupun verbal dapat di cegah, sehingga “Anak” tidak hanya sekedar menjadi pelampiasan EGO dari orang tua. Dimulai dari Komunikasi berbasis softskill, dengan menyelaraskan luka batin dan hambatan perasaan bagi para orang tua akibat pola asuh generasi sebelum nya, sehingga komunikasi dengan “Anak” menjadi efektif penuh kasih sayang.
Apakah sudah di lingkungan yang positif??
Kita bisa menemaninya ke sidang peradilan jika terjadi hal tersebut di sekolah